Jumat, 06 Mei 2011

epistemologi irfani


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
Sejarah tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu pemikirab yang berasaskan pada pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat asli fitrah manusia yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan, perbedaan pendapat serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof masing-masing yang dianut oleh para ilmuan pada masa itu. Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau berdasarkan pada kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi pemikran tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah denga hasil yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
 Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.
Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya.
2.      Rumusan masalah
1)      Apakah yang dimaksud dengan epistimologi ifrani.
2)      Apakah konsep dan tahapan dalam epistimologi ifrani
3)      Apakah perbedaan antara bayani, ifrani dan burhani.
3.      tujuan
tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan penjelasan kepada kami selaku penyusun dan penulis khususunya dan kita semua pada umumnya tentang epistemologi irfani, baik dalam pengertianya, konsep-konsepnya, dan tahapan-tahapnya. Serta megetahui perbedaan dari tiga epistimologi yang ada yakni epistimologi bayani, epistimologi burhani, dan epistimologi irfani itu sendiri. Yang pada hakekatnya epistimologi sangat berjasa besar terhadap terungkapnya sebuah pengetahuan sehingga menjadi disiplin ilmu. Diharapkan dengan mengetahui tentang epistimologi irfani kita bisa lebih menghargai ilmu pengetahuan.

















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahu. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
·         Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
·         Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin.
·         Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
·         Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
  1. Konsep
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;

1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
·         Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
·         Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statunya . apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
·         Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
·         Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
·         Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
·         Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
·         Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
    1. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
    1. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibe-narkan pula oleh Ali Issa Othman;
pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.


  1. Perbedaan antara bayani, irfani, dan burhani.

Bayani
Irfani
burhani
Sumber
Teks keagamaan
Ilham/intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/Istidlal
kasyf
Tahlili (analitik)
Pendekatan
Linguistik
Psikh-Gnostik
logika
Tema sentral
Ashl-furu`
Kata-makna
Zahir-batin
Wilayah-nubuwah
Essensi-Aksistensi
Bahasa-logika
Validasi kebenaran
Korespondensi
intersubyektif
Koherensi
Konsistensi
pendukung
Kaum teolog
Ahli fiqih
Ahli bahasa
Kaum sufi
Para filosof











BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang

filsafat dan ilmu pengetahuan


Prakata
Sejarah tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu pemikirab yang berasaskan pada pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat asli fitrah manusia yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan, perbedaan pendapat serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof masing-masing yang dianut oleh para ilmuan pada masa itu. Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau berdasarkan pada kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi pemikran tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah denga hasil yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
Oleh karena itu sejarah ilmu menuntut dan memelihara kemampuan untuk memandang diri seseorang dan ilmunya sebagai suatu tahap dalam evolusi berkelanjutan. Karena dengan demikian diharapkan manusia akan semakin terpacu untuk mengembangka pemikiran-pemikiranya sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan menuju tahap yang lebih modern dan ilmiah, melalui pemikiran-pemikiran filosofis yang menjunjung tinggi sebuah  kebijaksanaan.
Di dalam buku ini ada 2 pembagian yang pertama membahas tentang perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan dari masa-kemasa, serta peristiwa apa saja yang terjadi selama perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Dan yang kedua adalah membahas filsafat ilmu, terutama pada ruang lingkup pembahasanya serta pengaruh filsafat ilmu pada ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini.
Isi
Ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi peradaban manusia. Karena dengan ilmulah manusia bisa terbedakan dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lainya. Ketika makhluk-makhluk selain manusian selalu statis dengan insting dan naluri yang mereka miliki, manusia senantiasa berkembang dimanis dari masa-kemasa dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dan juga senantiasa selalu berkembang.
Sudah menjadi fitrah dan sifat manusia yakni selalu ingin tahu dan penasaran. Mungkin kita akan timbul pertanyaan. Bagaimakah ilmu pengetahuan bisa muncul dan berkembang, baik itu ilmu pegetahuan agama, alam, ataupun sosial? Mungkin kita juga bertanya-tanya bagaimana manusia bisa berhijrah dari pemikiran yang selalu berdasar pada mitos dan takhayul menuju pada pemikiran yang ilmiah dan empiris. Jawabanya adalah filsafat.
Apakah filsafat itu? Pengertian filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, para ahli filsafat satu dengan ahli filsafat yang lain selalu memiliki perbedaan dalam menjelaskan arti filsafat. Secara garis besar pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara entimonologi dan epistimologi.
Secara etimologi atau secara bahasa kata filosofi berasal dari bahasa yunani kuno yakni philein yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Sehingga secara etimologi dapat diartikan filosofi adalah love of wisdom atau cinta kebijaksanaan dalam arti sedalam-dalamnya. Kata filsafat pertamakali digunakan oleh pythagoras namun pada masa itu arti filsafat belum begitu jelas, kemudian pengertian itu diperjelas oleh Socrates.
Adapun secara terminologi, para ilmuan memberikan pengertian yang berbeda-beda namun dari pernjelasan mereka yang berbeda satu sama lain dapat ditarik garis merahnya sebagai sebuah penjelasan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakekatnya. Filsafat bukanlanya mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.
Hakekat adalah suatu prinsip yang menyatakan sesuatu adalah sesuatu itu. Filsafat adalah usaha untuk mengerahui segala sesuatu. Ada/being merupakan implikasi dasar. Jadi segala sesuatu yang memiliki kualitas tertentu pasti dia alah being. Filsafat mempunyai tujuan untuk membicarakan keberadaan. Jadi, filsafat membahas lapisan yang terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah-masalah yang paling dasar. Dengan demikian dapat dikatakan pula filsafat itu radikal, yang berarti filsafat harus mencari pengatahuan sedalam-daamnya ( sampai ke akar-akarnya).
Apakah yang memdorong manusia untuk berfikit filsafat atau berfilsafat. Hal yang mendorong inilah yang menjadi asal munculnya filsafat, satidaknya ada beberapa hal yang mendorong manusia untuk berfikir filsafat, yaitu:
a)      Keheranan dan kesangsian
Ini berhubuangan erat dengan sifat manusia  yang selalu ingin tahu sehingga, manusia selalu merasa heran dan selalu ingin memperdalam pengetahuanya jika ada sesuatu yang baru. Banyak filsuf menunjukan rasa heran (dalam bahasa yunani thaumasia) sebagai alat filsafat. Plato contohnya mengatakan: “ mata kita memberin pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari menyelidiki ini berasal filsafat. Setalah keheranan manusia kemudian berada pada keragu-raguan. Kemudia timbul berbagai pertanyaan. Apakah ia ditipu oleh panca indra kalau ia heran? Apakah kita hanya ingin melihat yang kita lihat? Dimana dapat ditemukan kepastian? Karena dunia ini penuh dengan berbagai pendapat, keyakinan dan interpretasi.
b)      Kesadaran dan keterbatasan
Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya sangat kecildan lebih terutama bila dibandingkang dengan alam sekelilingnya. Manusia merasa bahwa ia sangat terbatas dan terkait terutama pada waktu mengalami penderitaan atau jegagalan. Dengan kesadaran akan keterbatasan dirinya manusia mulai berfilsafat. Ia mulai memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas (jan Hendrik Rapat, 1996, hlm,11) 
Mengaca dari sesbab-sebab dan proses berembangnya. sesungguhnya filsafat telah memerankan sedikitnya tiga peranan utama dalam sejarah pemikiran manusia. Pertama,  filsafat berperan sebagai pendobrak, yakni filsafat memainkan peran mengeluarkan manusia dari intelektual pemikiran manusia yang terpenjara oleh tradisi dan kebiasaan. Kedua, filsafat berperan sebagai pembebas, yakni filsafat memainkan peran membebaskan manusia dari kebodohan dan ketidak tahuan. Demikian pula filsafat membebaskan manusia dari belenggu pemikiran mistis dan mitos. Ketiga, filsat sebagai pembimbing, yakni filsafat membimbing manusia  untuk selalu berfikir kritis sehingga akan menciptakan sesuatu yang disebut pengetahuan, dan tidak lagi terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang terbelakang yang masih terikat oleh tradisi.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani berbagai pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi, filsafat membantu untuk mendalami berbagai pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung jawabnya. Kemampuan itu dipelajarinya dari dua hal yaitu secara sistematis dan secara historis, dan secara tidak langsung kedua dal tersebut merupakan pembagian cabang-cabang filsafat itu sendiri.
ilmu, pengetahuan dan filsafat iratkan sebuah rantai yang tidak bisa diputus. Pengetauan hadir dari manuver-manuver filsafat dalam mencari fakta. Sedangkan filsafat melakukan peranya untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang kemudian akan dikonversikan menjadi sebuah ilmu. Filsafat pula yang menyebabkan ilmu berkembang dari masa kemasa dengan pemikiran-pemikiran para filsof yang juga senantiasa selalu berkembang.
Pengatahuan adalah sesuatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuanya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketaui serta kesadaran yang ingin diketahuinya itu. Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada dalam pikiran manusia, tanpa penngetahuan pikiran tidak akan eksis. Oleh sebab itu keterkaitan pengetahuan dengan pikiran merupakan sesuatu yang kodrati.  Ada enam hal yang menyebabkan munculya pengetahuan; pengalaman indra, nalar, otoritas, intuisi, wahyu, dan keyakinan.
Bagaimanakah asal-usul munculnya pengetahuan. Asal-usul pengetahuan sangat penting dalam epistemologi. Untuk mendapatkan dari mana pengetahuan itu muncul bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan, dan bisa dengan cara metode ilmiah, serta dari sarana berfikir ilmiah.
1.        Aliran-aliran pengetahuan
Rasionalisme
Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan sesuai dengan apa yang sanggup dipikirkan oleh manusia atau sesuai dengan rasio. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal saja yang dianggap memenuhi kriteria sebagai sebuah pengetahuan. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapatkan oleh akal
Empirisme
Aliran ini berpendapat, bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriyah. Menurut aliran empirisme akal bukanlah sumber pengetahuan, tetapi akal bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari poengalaman. Jadi dapat disimpulkan bahwa empirisme adalah kebalikan dari rasionalisme.

Kritisme
Pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme ternyata dapat diselesaikan dengan kritisme yang dilontarkan oleh Immanuel kant. Menurutnya peranan budi sangat besar sekali.
Positivisme
Positivme berpangkal dari apa yang telah diketaui, yang faktual, dan yang positif.
2.        Metode ilmiah
Metodologi merupakan hal yang mengkaji urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri yang ilmiah. Pada dasarnya di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplim apapun, baik ilmu-ilmu humaniora, sosial maupun alam masing-masing menggunakan metode yang sama. Filsafat memainkan peranya di metode ilmiah. Metode ilmiah berdasar pada sifat manusia yang selalu ingin tahu dan selalu ingin mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan, baik yang rasional, empiris maupun yang pisitif.
3.        Sarana berfikir mansia
Bahasa ilmiah pada sasarnya ada tiga, yakni bahasa ilmiah, logika, serta statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai  alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berfikir ilmiah, logika dan matematika mempunyai sarana penting  dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenaranya.  Adapun logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.
Sepanjang sejarah manusia dalam usahanya memahami dunia sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan ilmuiah dan penjelasan ghaib. Kini satu pihak manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai  hipotesis yang telah dibuktikan kebenaranya secara sah, dan itulah yang sekarang disebut dengan ilmu pengetahuan. Ilmu adalah selalu harus merupakan suatu problema yang telah diketahuinya atau yang ingin diketahuniya, kemudian ada ada suatu penelaahan dan penelitian agar dapat diperoleh kejelasan tentunya, dengan mempergunakan metode yang relevan untuk mencapai kebenaran yang cocok dengan keadaan yang sebenarnya. (abbas mintareja, 1980)
Perjalanan ilmu dari masa-kemasa dan peran filosofi
Zaman pra yunani kuno
Pada zaman pra zunani kuno manusia berada pada taraf yang masih kuno mereka belum mengenal cara berfikir apalagi cara berfikir secara filosofi. Pemikiran mereka terbelenggu oleh kepercayaan dan mitos serta belum ada sebiah kemerdekaan untuk berfikir sehingga ilmu belum menunjukan taringnya.
Zaman yunani kuno
Masa yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat, karena pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang didasarka pada sikap menerima begitu saja, melainkan sikap yang senag menyelidiki sesuatu secara kritis. Sikap inilah yang mencikal bakali munculnya ilmu modern.
Zaman abad pertengahan
Zaman abad pertengahan ditandai dengan tampilnya para tolog di lapangan ilmu pebgatahuan. Para ilmuan pada masa ini hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang dipakai mereka adalah semboyan abdi agama. Meski demikian zaman abad pertengahan telah berhasil menemukan temuan-temuan yang terkait bidang ilmu pengetahuan yang terjadi pasa masa ini.
Zaman modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Tercatat ada beberapa ilmuan besar pada zaman ini diantaranya adalah J.J thomson dengan temuan elektronya. Isaac newton dengan hukum gravitasinya, serta ilmuan kontroversial charles darwin dengan teory perjuangan untuk hidupnya (evolusi).
Zaman kontemporer
Sekarang ini kita berada pada zaman ini, tentu kita bisa merasakan perkembangan ilmu pengetahuan, hampir setiap aktivitas yang kita lakukan menggunakan jasa daripada ilmu pengetahuan. Kita dapat merasakan ini semua itu karena semakin berkembangnya sikap ilmiah yang dimiliki oleh manusia dengan penelitian-penelitian yang mereka lakukan dengan  demikian secara langsung ataupun tidak langsung berkembangnya ilmu pengetahuan sangatlah erat hubunganya dengan pemikiran filsafat.